PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
NAMA : NUR LAILI VITRIYANAH
NIM : 10.39090.0020
PRODI : DIII KOMPUTER GRAFIS DAN CETAK (KGC)
PENDAHULUAN
SEBERAPA PENTINGNYA MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA &
KEWARGANEGARAAN BAGI MAHASISWA ?
Pertama
-Thomas Janoski-
Satu pernyataan dari Thomas Janoski bermakna bahwa
kewarganegaraan adalah keanggotaan secara pasif dan aktif dari seorang individu
dalam sebuah negara-bangsa dengan hak-hak universal tertentu dan
kewajiban-kewajiban pada level yang spesifik dari kesetaraan. Namun yang
terjadi adalah pemahaman secara tidak penuh terhadap makna kewarganegaran.
Konsep ini dilihat semata-mata sebagai status.
Pemahaman secara tidak penuh terhadap makna kewarganegaraan
terlihat pada munculnya pernyataan dari Ketua Umum DPP Partai Golkar, Aburizal
Bakrie, yang mengatakan bahwa“menempatkan pendidikan Pancasila hanya (sebagai)
bagian dari pendidikan kewarganegaraan merupakan bentuk pengerdilan Pancasila.” Pandangan
serupa diungkapkan oleh Sudijarto, dari Dewan Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonesia, yang mengatakan “Pendidikan Kewarganegaraan tidak akan mampu
mentransformasikan nilai-nilai Pancasila. Ini disebabkan silabus
pendidikan kewarganegaraan lebih bersifat teori-teori tentang kenegaraan dan
hak asasi manusia yang diadopsi dari negara lain”.
Pancasila dibutuhkan sebagai dasar negara yang berfungsi
sebagai daya ikat serta dasar pemersatu bangsa dan negara. Pancasila jelas
merupakan seperangkat nilai. Nilai tersebut dapat ditemukan pada alinea keempat
Pembukaan UUD 1945.
Kedua
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa merupakan hal yang
penting mengingat Indonesia merupakan negara dengan keberagaman suku sehingga
Pancasila dibutuhkan terkait dengan integrasi nasional. Rintangan utama pada
pembangunan integrasi nasional adalah eksistensi dari etnis atau minoritas
kultural dalam sebuah negara yang menolak kecenderungan integrasi. Makna rasa
kesukuan bahkan menjadi lebih dramatis dalam masalah-masalah integratif yang
timbul di negara-negara dimana masyarakatnya memiliki identitas etnis yang
sangat kuat.
Negara menghadapi konflik-konflik internal akibat
meningkatnya semangat primordialisme; menyebarnya ideologi etnonasionalisme dan
lokalisme yang menguat. Kesetiaan primordial ini sifatnya kolektif terutama
dalam penggunaan bahasa dan budaya serta sangat emosional. Tidak perlu ada
keberatan terhadap kesetiaan primordial selama ia tidak menghasilkan
ketegangan-ketegangan regional dan kultural, dan sepanjang ia tidak
bertentangan dengan kesetiaan nasional.
Dalam dinamika pluralisme Indonesia tersebut,
kewarganegaraan hadir dalam rangka pemersatu di antara perbedaan yang ada dan
untuk meningkatkan rasa nasionalisme terhadap negara Indonesia. Sama halnya
dengan Pancasila yang merupakan konsep dari bhinneka tunggal ika.
Ketiga
Dengan konsepsi kewarganegaraan multikultur, pendidikan
kewarganegaraan mengenalkan kita pada prinsip keadilan yang memperlakukan semua
orang dengan sama. Hal ini ditekankan oleh Thomas Janoski yang menyatakan bahwa
kewarganegaraan adalah sebuah pernyataan dari persamaan hak, dengan hak-hak dan
kewajiban yang seimbang dalam batasan-batasan tertentu. Persamaan dalam hal ini
mungkin tidak sempurna, tetapi hal tersebut paling memerlukan peningkatan
hak-hak minoritas dalam berhadapan dengan elit-elit sosial. Persamaan ini sebagian
besar bersifat prosedural, tetapi juga dapat termasuk hal-hal yang substantif.
Dengan adanya persamaan, maka prinsip keadilan bagi seluruh kaum termasuk kaum
minoritas dijamin dalam kerangka kewarganegaraan multikultural.
Dalam usaha untuk mewujudkan prinsip persamaan, keadilan,
dan keterwakilan, teori kewarganegaraan multikultural Kymlicka membedakan
hak-hak minoritas bagi kelompok etnis, yaitu hak-hak pemerintahan sendiri,
hak-hak polyetnik, dan hak-hak perwakilan khusus. Terkhusus hak-hak polyetnik,
dimaksudkan untuk membantu kelompok etnis dan minoritas agama untuk menyatakan
kekhasan budayanya dan harga diri tanpa menghalangi keberhasilan mereka dalam
lembaga ekonomi dan politik dari masyarakat dominan. Ketiga bentuk kewargaan
kelompok yang dibedakan dapat digunakan untuk memberikan perlindungan
eksternal. Caranya adalah, setiap bentuk membantu melindungi minoritas dari
kekuasaan ekonomi dan politik masyarakat yang lebih luas, walau masing-masing
menjawab pada tekanan eksternal yang berbeda dalam cara yang berbeda, yaitu:
1. Hak perwakilan kelompok khusus di dalam lembaga politik
masyarakat yang lebih luas menjadikan kecil kemungkinan bahwa minoritas bangsa
atau etnis akan diabaikan dalam keputusan yang dibuat berbasiskan seluruh
negeri.
2. Hak atas pemerintahan sendiri mengalihkan kekuasaan ke
unit politik yang lebih kecil sehingga minoritas bangsa tidak dapat dikalahkan
dalam pemilihan atau dalam tawar-menawar oleh mayoritas berkenaan dengan
keputusan yang sangat penting bagi kebudayaannya.
3. Hak polietnis melindungi praktik-praktik agama dan budaya
yang khas, yang mungkin tidak didukung secara layak melalui pasar atau yang
dirugikan oleh perundangan yang ada.
Akomodasi dari perbedaan-perbedaan ini adalah inti dari
kesetaraan yang sebenarnya, dan hak-hak khusus kelompok tersebut diperlukan
untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang ada. Walau hak-hak kelompok yang
dibedakan untuk minoritas bangsa mungkin secara sekilas tampak mendiskriminasi,
hak-hak itu sebenarnya konsisten dengan prinsip-prinsip mengenai kesetaraan.
Jika bukan karena hak-hak kelompok yang dibedakan itu, para anggota kebudayaan
minoritas tidak akan mempunyai kemampuan yang sama untuk hidup dan bekerja
dalam bahasa dan kebudayaan sendiri yang dianggap lumrah bagi para anggota dari
kebudayaan mayoritas.
Intisari
Bahwa di dalam kewarganegaraan juga terdapat nilai-nilai
yang ada di dalam Pancasila sehingga dengan menetapkan Pancasila sebagai bagian
dari kewarganegaraan tidaklah mengerdilkan Pancasila itu sendiri..
persamaan nilai yang dapat diambil dari substansi antara
Pancasila dengan kewarganegaraan, maka dapat dirumuskan menjadi 2 hal yang
utama:
1. Seperti halnya kewarganegaraan, Pancasila menghindari
otoritarianisme negarara, dan usaha mengembangkan pluralisme sebagai ciri
permanen dari kebudayaan yang demokratis di Indonesia. Pancasila tidak membuka
ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Pancasila sebagai
konsepsi politis hanya berlaku pada struktur dasar masyarakat dari kehidupan
bernegara, sementara keyakinan atau nilai lain yang mungkin ada di luar yang
politis sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang,
tetap dibiarkan hidup dan harus dihormati perkembangannya oleh negara.
2. Pancasila dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak
sipil dan politik dasar bagi warga negara yang hidup dalam sebuah negara.
Gagasan fundamental Pancasila mengenai kebebasan, hak-hak sipil dan politik
dasar yang harus dihormati oleh mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam
pemilihan dan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpikir dan menyatakan
pendapat, dan juga perlindungan hukum juga dijamin dalam konsep-konsep
kewarganegaraan sehingga poin kedua ini menegaskan bahwa substansi Pancasila
dan kewarganegaraan adalah sama namun dalam bahasa yang berbeda.
KEWARGANEGARAAN
Latar Belakang Kewarganegaraan
Setiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup
berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang berlandaskan pada
nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa. Fungsinya adalah sebagai panduan
dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam
konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya bangsa menjadi pijakan utama,
karena tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran
bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan budaya
bangsa.
Pendidikan Kewargaan (civic education) sesungguhnya bukanlah
agenda baru di muka bumi. Hanya saja, proses globalisasi yang melanda dunia
pada dekade akhir abad 20 telah mendorong munculnya pemikiran baru tentang
pendidikan kewarganegaraan di berbagai negara. Di Eropa, Dewan Eropa telah
memprakarsai proyek demokratisasi untuk menopang pengembangan kurikulum
pendidikan kewarganegaraan. Hal yang sama juga terjadi di Australia, Canada,
Jepang dan negara Asia lainnya.
Di Amerika Serikat pendidikan kewarganegaraan diatur dalam
kurikulum sosial selama satu tahun, yang pelaksanaannya diserahkan kepada
negara-negara bagian. Materi yang diajarkan diarahkan pada :
Bagaimana menjadi warga yang produktif dan sadar akan haknya
sebagai
warga Amerika dan warga dunia.
Nilai-nilai dan prinsip demokrasi konstitusional.
Kemampuan mengambil keputusan selaku warga masyarakat
demokratis dan multikultural di tengah dunia yang saling tergantung.
Di Australia, pendidikan kewarganegaraan ditekankan
pada discovering democracy, yaitu:
1). Prinsip, proses dan nilai demokrasi
2). Proses pemerintahan
3). Keahlian dan nilai partisipasi aktif di
masyarakat.
Di Negara-negara Asia, Jepang misalnya, materi pendidikan
kewarganegaraan ditekankan padaJapanese history, ethics dan philosophy.
Di Filipina materi difokuskan pada : Philipino, family planning, taxation
and landreform, Philiphine New Constitution dan study of humanity (Kaelan,
2003:2). Hongkong menekankan pada nilai-nilai Cina, keluarga, harmoni sosial,
tanggung jawab moral, mesin politik Cina dan lain-lain. Taiwan menitikberatkan
pada pengetahuan kewarganegaraan (disusun berdasarkan psikologi, ilmu sosial,
ekonomi, sosiologi, hukum dan budaya); perilaku moral (kohesi sosial, identitas
nasional dan demokrasi); dan menghargai budaya lain. Thailand, berusaha :
Menyiapkan pemuda menjadi warga bangsa dan warga dunia yang
baik.
Menghormati orang lain dan ajaran Budha.
Menanamkan nilai-nilai demokrasi dengan raja sebagai kepala
negara. Beberapa negara yang lain juga mengembangkan studi sejenis, yang
dikenal dengan nama Civic Education.
Dari sini terlihat bahwa secara umum pendidikan
kewarganegaraan di negara-negara Asia lebih menekankan pada aspek moral
(karakter individu), kepentingan komunal, identitas nasional dan perspektif
internasional, sedangkan Amerika dan Australia lebih difokuskan pada
pentingnya hak dan tanggung jawab individu, sistim dan proses demokrasi, HAM
dan ekonomi pasar (Sobirin, 2003:11-12).
Analisis PKn
Bagaimana Pendidikan Kewarganegaraan saat ini?
Apa ada yang salah dengan Pendidikan Kewarganegaraan kita?
Apakah pendidikan kewarganegaraan menjadi hanya sekedar
formalitas belaka yang tidak memiliki nilai apapun di dalamnya?
Mengapa nilai urgensitas pendidikan kewarganegaraan menjadi
begitu rendah?
Pertama
ada tiga fenomena penting pasca perang dunia II,yaitu :
Fenomena pertama, saat bangsa-bangsa berfokus kepada
nation-building atau pembangunan institusi negara secara politik. Di Indonesia,
itu diprakarsai mantan Presiden Soekarno. Pendidikan arahnya untuk
nasionalisasi.
Fenomena kedua, terkait dengan tuntutan memakmurkan bangsa
yang kemudian mendorong pendidikan sebagai bagian dari market-builder atau
penguatan pasar dan ini diprakarsai mantan Presiden Soeharto.
Fenomena ketiga, berhubungan dengan pengembangan peradaban dan
kebudayaan. Singapura, Korea Selatan, dan Malaysia sudah menampakkan fenomena
tersebut dengan menguatkan pendidikannya untuk mendorong riset, kajian-kajian,
dan pengembangan kebudayaan.
Kedua
Sebenarnya banyak hal yang didapatkan dari pelajaran
kewarganegaraan. Yang pertama adalah kita menjadi tahu hak dan kewajiban kita
sebagai warga negara yang akhirnya membuat kita jadi mengerti peran dan
penempatan diri kita sebagai bagian dari suatu negara. Ketika kita semua sudah
tahu dan mengerti kewajiban yang harus dilakukan dan hak yang didapatkan, maka
kita bisa menjalankannya dengan penuh tanggung jawab sesuai peraturan ataupun
menuntut hak – hak yang mungkin belum terpenuhi sebagai warga negara. Perlu
diketahui bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu
sama lain tanpa terkecuali. Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi
untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai
permasalahan di kemudian hari. Manfaat yang kedua adalah dengan mempelajari
pelajaran kewarganegaraan dapat memotivasi kita untuk memiliki sifat
nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. Artinya yaitu setelah mengerti peran
dan keadaan negara , kita seharusnya menjadi warga negara yang lebih cinta pada
tanah air dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Selain itu dengan
mempelajari pendidikan kewarganegaraan dapat memperkuat keyakinan kita terhadap
Pancasila sebagai ideologi negara dan mengamalkan semua nilai – nilai yang
terkandung di dalamnya. Entah kita sadari atau tidak, dasar negara kita
Pancasila mempunyai nilai – nilai luhur termasuk nilai moral kehidupan. Nilai
moral tersebut seharusnya menjadikan kita pedoman dalam berpikir, bersikap dan
bertingkah laku. Nilai – nilai tersebut berkaitan erat dengan kualitas sumber
daya manusia. Kualitas SDM yang rendah merupakan salah satu indikasi juga
gagalnya pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Manfaat selanjutnya adalah
suatu hal yang masih berhubungan dengan nasionalisme dan patriotisme yaitu
diharapkan kita memiliki kesadaran dan kemampuan awal dalam usaha bela negara.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa “Tiap-tiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.” dan ”
Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang.” Jadi sudah pasti
mau tidak mau kita wajib ikut serta dalam membela negara dari segala macam
ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan baik yang datang dari luar maupun
dari dalam. Membela negara bisa berarti luas dan dapat dilakukan dalam berbagai
bidang. Dengan hak dan kewajiban yang sama, setiap orang Indonesia tanpa harus
dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara
tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain misalnya
ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling), ikut
serta membantu korban bencana di dalam negeri, belajar dengan tekun pelajaran
atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ataupun mengikuti kegiatan
ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka. Itu semua sedikit manfaat
yang didapatkan setelah mempelajari pendidikan kewarganegaraan. Tentunya masih
banyak lagi manfaat lain yang didapatkan. Tidak lupa semua hal yang sudah
disebutkan tadi juga harus disesuaikan dengan dinamika kehidupan bermasyarakat
dan diharapkan dapat menjadi sarana pembentukan kepribadian bangsa dalam rangka
mempertahankan keutuhan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena itu, tidaklah heran kalau kita sudah tidak asing lagi
dengan pelajaran kewarganegaraan yang sudah dikenalkan mulai kita duduk di
bangku SD sampai perguruan tinggi. Dulu di saat masih sekolah, pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan dijadikan sebagai satu mata pelajaran yang lebih
dikenal dengan PPKn ( Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ). Berbeda halnya
dalam bangku kuliah yang keduanya lebih dibahas secara mendalam dan dijadikan
dua mata kuliah yang berbeda. Namun tentunya antara satu dan yang lainnya tetap
berhubungan erat.
Jika kita menilik sejarah ke belakang, ternyata pendidikan kewarganegaraan sudah ada sejak zaman Presiden Soekarno. Di era Soekarno, pendidikan kewarganegaraan dikenal dengan Pendidikan Civic. Demikian pula masa Presiden Soeharto, pendidikan kewarganegaraan sangat intensif dilakukan dengan bermacam nama dan tingkatan. Sayangnya, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan semasa Orde Baru, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), ternyata menyimpang dari impian luhur kemanusiaan yang terkandung dalam dasar negara Pancasila. Budaya dan praktik penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elite politik dan pelaku bisnis sejak masa Orde Baru hingga kini bisa menjadi fakta nyata gagalnya pendidikan kewarganegaraan masa lalu.
Secara materi seperti yang dibahas di atas, tentu pendidikan kewarganegaraan menjadi begitu penting dengan berbagai macam nilai di dalamnya. Akan begitu besar manfaatnya ketika kita mengerti dan memahami semua materi yang diajarkan. Tetapi hal itu akan sia – sia belaka ketika kita hanya sekedar mengerti atau memahami saja tanpa adanya penaindaklanjutan. Dalam hal ini yang ingin saya tekankan adalah perlu adanya suatu pengamalan dari suatu ilmu, khususnya dalam hal ini ilmu yang dimaksud adalah pendidikan kewarganegaraan itu sendiri.
Seperti kata pepatah “Amal tanpa ilmu, buta….Ilmu tanpa amal, pincang…” Amal tanpa ilmu akan membutakan karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan. Bagaimana mungkin kita tahu kalau amal yang kita lakukan benar atau salah jika kita tidak tahu ilmunya. Hal itu sama saja dengan kita berjalan tanpa tahu arah. Dengan menghubungkannya dengan topik yang kita bahas, pepatah itu tentunya memberikan kesadaran bahwa pendidikan kewarganegaraan yang merupakan suatu ilmu begitu penting sebagai petunjuk dan pemberi arah untuk setiap tindakan kita. Begitu banyak orang yang tidak memahami ilmu ini bisa jadi tidak sadar bahwa hal yang mereka lakukan itu salah dan pada akhirnya yang terjadi adalah kekacauan di masyarakat.
Sebaliknya juga berlaku bahwa ilmu tanpa amal itu sesuatu yang sia – sia. Dengan memegang prinsip itu dan menghubungkan dengan kenyataan yang ada saat ini bahwa masih banyak orang yang hanya sekedar tahu dan mengerti saja tanpa pengamalan.
Jika kita menilik sejarah ke belakang, ternyata pendidikan kewarganegaraan sudah ada sejak zaman Presiden Soekarno. Di era Soekarno, pendidikan kewarganegaraan dikenal dengan Pendidikan Civic. Demikian pula masa Presiden Soeharto, pendidikan kewarganegaraan sangat intensif dilakukan dengan bermacam nama dan tingkatan. Sayangnya, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan semasa Orde Baru, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), ternyata menyimpang dari impian luhur kemanusiaan yang terkandung dalam dasar negara Pancasila. Budaya dan praktik penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elite politik dan pelaku bisnis sejak masa Orde Baru hingga kini bisa menjadi fakta nyata gagalnya pendidikan kewarganegaraan masa lalu.
Secara materi seperti yang dibahas di atas, tentu pendidikan kewarganegaraan menjadi begitu penting dengan berbagai macam nilai di dalamnya. Akan begitu besar manfaatnya ketika kita mengerti dan memahami semua materi yang diajarkan. Tetapi hal itu akan sia – sia belaka ketika kita hanya sekedar mengerti atau memahami saja tanpa adanya penaindaklanjutan. Dalam hal ini yang ingin saya tekankan adalah perlu adanya suatu pengamalan dari suatu ilmu, khususnya dalam hal ini ilmu yang dimaksud adalah pendidikan kewarganegaraan itu sendiri.
Seperti kata pepatah “Amal tanpa ilmu, buta….Ilmu tanpa amal, pincang…” Amal tanpa ilmu akan membutakan karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan. Bagaimana mungkin kita tahu kalau amal yang kita lakukan benar atau salah jika kita tidak tahu ilmunya. Hal itu sama saja dengan kita berjalan tanpa tahu arah. Dengan menghubungkannya dengan topik yang kita bahas, pepatah itu tentunya memberikan kesadaran bahwa pendidikan kewarganegaraan yang merupakan suatu ilmu begitu penting sebagai petunjuk dan pemberi arah untuk setiap tindakan kita. Begitu banyak orang yang tidak memahami ilmu ini bisa jadi tidak sadar bahwa hal yang mereka lakukan itu salah dan pada akhirnya yang terjadi adalah kekacauan di masyarakat.
Sebaliknya juga berlaku bahwa ilmu tanpa amal itu sesuatu yang sia – sia. Dengan memegang prinsip itu dan menghubungkan dengan kenyataan yang ada saat ini bahwa masih banyak orang yang hanya sekedar tahu dan mengerti saja tanpa pengamalan.
Dalam pembelajaran kewarganegaraan kita jadi tahu banyak hal
dalam kehidupan bernegara, tapi mengapa dalam praktiknya nol?
Karena banyak warga negara yang hanya menganggap ilmu itu
sebagai angin lalu yang tidak bermanfaat. Kita cenderung menganggap pendidikan
kewarganegaraan patut disepelekan karena kurang begitu penting dibandingkan
dengan ilmu yang lain. Itu akibat yang terjadi ketika kita tidak tahu manfaat
apa yang didapat setelah mempelajarinya. Memang semenjak SD kita sudah
diajarkan apa yang harus kita lakukan untuk menjawab soal – soal kewarganegaraan
yang intinya harus dipilih atau ditulis segala bentuk perbuatan yang baik –
baik dan kenyataannya semua itu cuma bertujuan untuk mendapatkan nilai yang
tinggi tanpa ada penerapan dalam kehidupan. Bisa dibayangkan berapa banyak
biaya dan waktu yang terbuang percuma ketika semuanya itu akan menguap begitu
saja tanpa meninggalkan manfaat apapun bagi diri kita. Tentunya itu akan
merugikan diri kita sendiri. Sebagai contoh adalah demonstrasi yang tidak
bertanggung jawab yang dilakukan oleh mahasiswa. Tidak ada yang melarang
siapapun untuk berdemonstrasi, tapi tentu saja semua itu ada aturannya.
Kekacauan yang terjadi selama ini adalah mereka tidak mengetahui secara jelas
aturan – aturan yang berlaku ( tidak tahu ilmunya ) sehingga mereka cenderung
seenaknya sendiri dalam mengungkapkan aspirasinya atau mungkin saja mereka tahu
tapi tidak mau tahu ( pengamalan yang salah ). Pada akhirnya hal tersebut
bukannya memperbaiki keadaan malah menjadiakan keadaan semakin terpuruk.
Karena itu pada intinya perlu adanya keseimbangan antara ilmu dan amal. Ketika semua warga negara sudah mengerti betul apa yang harus dilakukan, memiliki kesadaran tinggi untuk mengetrapkannya dan akhirnya benar – benar melaksanakannya sesuai aturan yang berlaku, saya percaya bahwa negara ini akan menjadi negara yang aman, tentram, damai seperti apa yang sudah diidam – idamkan sejak dulu
Karena itu pada intinya perlu adanya keseimbangan antara ilmu dan amal. Ketika semua warga negara sudah mengerti betul apa yang harus dilakukan, memiliki kesadaran tinggi untuk mengetrapkannya dan akhirnya benar – benar melaksanakannya sesuai aturan yang berlaku, saya percaya bahwa negara ini akan menjadi negara yang aman, tentram, damai seperti apa yang sudah diidam – idamkan sejak dulu
Bentuk Pendidikan Kewarganegaraan apa yang perlu diajarkan
pada Mahasiswa?
Mahasiswa adalah bibit unggul bangsa yang di mana pada
masanya nanti bibit ini akan melahirkan pemimpin dunia. Karena itulah
diperlukan pendidikan moral dan akademis yang akan menunjang sosok pribadi
mahasiswa. Kepribadian mahasiswa akan tumbuh seiring dengan waktu dan mengalami
proses pembenahan, pembekalan, penentuan, dan akhirnya pemutusan prinsip diri.
Negara, masyarakat masa datang, diperlukan ilmu yang cukup untuk dapat
mendukung kokohnya pendirian suatu Negara.
Negara yang akan melangkah maju membutuhkan daya dukung
besar dari masyarakat, membutuhkan tenaga kerja yang lebih berkualitas, dengan
semangat loyalitas yang tinggi. Negara didorong untuk menggugah masyarakat agar
dapat tercipta rasa persatuan dan kesatuan serta rasa turut memiliki.
Masyarakat harus disadarkan untuk segera mengabdikan dirinya pada negaranya,
bersatu padu dalam rasa yang sama untuk menghadapi krisis budaya, kepercayaaan,
moral dan lain-lain. Negara harus menggambarkan image pada masyarakat agar
timbul rasa bangga dan keinginan untuk melindungi serta mempertahankan Negara
kita. Pendidikan kewarganegaraan adalah sebuah sarana tepat untuk memberikan
gambaran secara langsung tentang hal-hal yang bersangkutan tentang
kewarganegaraan pada mahasiswa.
Salah satu rektor sebuah universitas menyatakan, “tanpa
pendidikan kewarganegaraan yang tepat akan lahir masyarakat egois. Tanpa
penanaman nilai-nilai kewarganegaraan, keragaman yang ada akan menjadi penjara
dan neraka dalam artian menjadi sumber konflik. Pendidikan, lewat kurikulumnya,
berperan penting dan itu terkait dengan strategi kebudayaan yang semuanya
bersumber pada Pancasila.”
Penerapan PPK (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan)
Pancasila dan UUD1945 merupakan bagian dari pondasi utama
dari berdirinya Indonesia sebagai suatu negara. Ingatkah Anda bahwa dalam
sejarah Indonesia, salah satu hal penting yang di kerjakan oleh para pendiri
negara sebagai bagian dari persiapan kemerdekaan Indonesia adalah membentuk
dasar negara dan Undang-Undang Dasar. Tidak mungkin suatu negara dapat berdiri
dan bergerak maju tanpa memiliki dasar negara (Pancasila) dan UUD. Sebab keduanya
menjadi pedoman yang memberi arah dan tujuan yang hendak diraih melalui
pengelolaan negara. Jadi, siapapun yang memegang kekuasaan negara tidak boleh
menyimpang dari amanat rakyat, dasar negara, dan UUD.
Sebagai penganut ideologi terbuka, Pancasila senantiasa
mampu berinteraksi secara dinamis. Nilai-nilai Pancasila tidak boleh berubah,
namun pelaksanaannya harus kita sesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata
yang akan kita hadapi dalam setiap kurun waktu. Namun demikian, faktor manusia
baik penguasa maupun rakyatnya sangat menentukan dalam mengukur kemampuan
sebuah ideoogi dalam menyelesaikan berbagai masalah. Sebaik apapun ideologi
kalau tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang baik, maka ideologi itu
hanya menjadi angan-angan belaka.
Bagi bangsa Indonesia, yang dijadikan sebagai sumber nilai
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah Pancasila. Hal
ini berarti bahwa seluruh tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
menggunakan Pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang
baik buruk dan benar salahnya sikap, perbuatan dan tingkah laku sebagai bangsa
Indonesia. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai intrinsikyang kebenarannya
dapat dibuktikan secara objektif, serta mengandung kebenaran yang universal.
Nilai-nilai Pancasila, merupakan kebenaran bagi bangsa indonesia karena telah
teruji dalam sejarah dan dipersepsi sebagai nilai-nilai subjektif yang menjadi
sumber kekuatan dan pedoman hidup seirama dengan proses adanya bangsa Indonesia
yang dipengaruhi oleh dimensi waktu dan ruang. Nilai-nilai tersebut tampil
sebagai norma dan moral kehidupan yang ditempa dan dimatangkan oleh pengalaman
sejarah bangsa Indonesia untuk membentuk dirinya sebagai bangsa yang merdeka,
berdaulat dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Nilai-nilai Pancasila itu menjadi sumber
inspirasi dan cita-cita untuk diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
PPK kita dapat belajar mengenai rasa nasionalisme terhadap
bangsa Indonesia dan dapan mengamalkan nilai-nilai yang ada pada Pancasila di
kehidupan sehari-hari. Dan itu juga diperkuat dengan adanya salah satu landasan
Pancasila yaitu pada landasan yuridis yang menyebutkan tentang sisdiknas
“sistem pendidikan nasional” isi kurikulum yang terdapat dalam setiap jalur dan
jenjang pendidikan harus memuat pendidikan kewarganegaran, pendidikan
Pancasila, pendidikan Agama terdapat dalam SK Dirjen No. 265/Ditkti/Kep/2000
“setiap mahasiswa program Diploma dan Sarjana wajib mengikuti pendidikan
Pancasila sebagai mata kuliah umum”. Pendidikan Kewarganegaraan di semua
jenjang pendidikan di Indonesia adalah implementasi dari UU No. 2 Tahun 1989
Pasal 9 ayat (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa setiap
jenis, jalur, dan jenjang pendidikan di Indonesia wajib memuat Pendidikan
Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Isi Pendidikan Pancasila&Kewarganegaraan :
1.Mengenai pruralisme yakni sikap menghargai keragaman,
pembelajaran kolaboratif, dan kreatifitas. Pendidikan itu mengajarkan
nilai-nilai kewarganegaraan dalam kerangka identitas nasional berbasis
Pancasila.
2.Mampu mengantisipasi hari depan yang senantiasa berubah
dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara, dan hubungan
internasional serta memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan
memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku yang cinta tanah air berdasarkan
Pancasila. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3.Hak dan kewajiban warga negara, terutama kesadaran bela
negara akan terwujud dalam sikap dan perilakunya bila ia dapat merasakan bahwa
konsepsi demokrasi dan hak asasi manusia sungguh–sungguh merupakan sesuatu yang
paling sesuai dengan kehidupannya sehari–hari.
4.Membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa
tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai dengan perilaku
yang :
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
menghayati nilai–nilai falsafah bangsa
Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai
warga negara.
Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela
negara.
Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni untuk
kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.
5. Mewujudkan warga negara sadar bela negara berlandaskan
pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral
bangsa dalam perikehidupan bangsa serta menumbuhkan wawasan dan kesadaran
bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air, wawasan nusantara, serta
ketahanan nasional dalam diri warga negara Republik Indonesia. Selain itu
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur,
berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin,
beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat
jasmani dan rohani berdasarkan Pancasila.
6.Mampu “memahami, menganalisa, dan menjawab masalah–masalah
yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara konsisten dan
berkesinambungan dengan cita–cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan
dalam Pembukaan UUD 1945 “ sepert imemerangi keterbelakangan, kemiskinan,
kesenjangan sosial, korupsi, kolusi, dan nepotisme; menguasai IPTEK,
meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki daya saing; memelihara
serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; dan berpikir obyektif rasional
serta mandiri.
Hakikat Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah upaya
sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara
dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak
dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan
bangsa dan negara. Sehingga dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi ilmu
tentang tata Negara, menumbuhkan kepercayaan terhadap jati diri bangsa serta
moral bangsa, maka takkan sulit untuk menjaga kelangsungan kehidupan dan
kejayaan Indonesia.
Kompetensi mata kuliah Pendidikan Pancasila &
Kewarganegaraan antara lain agar mahasiswa mampu menjadi warga negara yang
memiliki pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM, agar
mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya mencegah dan menghentikan berbagai
tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai, agar mahasiswa memilik
kepedulian dan mampu berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di
masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama, dan nilai-nilai
universal, agar mahasiwa mampu berpikir kritis dan objektif terhadap persoalan
kenegaraan, HAM, dan demokrasi, agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan
solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik, agar mahasiswa mampu
meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban).
Pendidikan Pancasila&Kewarganegaraan mengajarkan :
Seseorang menjadi warga negara yang lebih bertanggung jawab.
Karena kewarganegaraan itu tidak dapat diwariskan begitu saja melainkan harus
dipelajari dan di alami oleh masing-masing orang. Apalagi negara kita sedang
menuju menjadi negara yang demokratis, maka secara tidak langsung warga
negaranya harus lebih aktif dan partisipatif. Oleh karena itu kita sebagai
mahasiswa harus memepelajarinya, agar kita bisa menjadi garda terdepan dalam
melindungi negara. Garda kokoh yang akan terus dan terus melindungi Negara
walaupun akan banyak aral merintang di depan.
Warga negara itu tidak hanya tunduk dan patuh terhadap
negara, tetapi juga mengajarkan bagaimana sesungguhnya warga negara itu harus
toleran dan mandiri.
Rasa kewarganegaraan yang tinggi, akan membuat kita tidak
akan mudah goyah dengan iming-iming kejayaan yang sifatnya hanya sementara.
Selain itu kita tidak akan mudah terpengaruh secara langsung budaya yang bukan
berasal dari Indonesia dan juga menghargai segala budaya serta nilai-nilai yang
berlaku di negara kita.
Karakter nasionalisme seperti itu sudah terbukti dapat
mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia walau ditekan oleh kekuatan asing,
menjadi dasar semangat bangsa Indonesia dalam berjuang dan bahkan bisa
mengantarkan bangsa Indonesia mencapai cita-citanya, yaitu kemerdekaan.
Nasionalisme amatlah penting kalau bangsa kita mau bertahan. Tiga poin penting
yang menjadi ciri khas nasionalisme para pendiri bangsa. Pertama, nasinalisme
mereka adalah nasinalisme yang didasari oleh rasa sukarela dan tulus. Kedua
nasionalisme mereka adalah nasionalisme yang berorientasi pada nilai. Bersatu
bukanlah suatu tujuan melainkan sarana. Tujuan utama mereka amatlah luhur yaitu
keutamaan manusiawi. Ketiga nasionalisme para nasionalis itu adalah
nasionalisme yang dewasa. Manifestasi dari ciri ini adalah sikap mereka yang
tidak meremehkan harkat dan martabat bangsa lain. Generasi muda pada umumnya
sudah mulai anti terhadap nasionalisme. Salah satu usaha dalam rangka itu
adalah maraknya pendapat-pendapat bahwa sosialisasi nasionalisme melalui
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Pancasila harus ditiadakan. Padahal
sikap batin yang telah terwujud itu merupakan suatu refleksi dan rangkuman
pengalaman historis Indonesia. Pendidikan Kewarganegaraan dan pancasila hingga
kini masih sebatas hafalan, dan belum tercermin dalam kehidupan nyata.
Penerapan PPK :
1. Melahirkan warga negara yang memiliki wawasan berbangsa
dan bernegara serta nasionalisme yang tinggi.
2. Melahirkan warga negara yang memiliki komitmen kuat
terhadap nilai-nilai HAM dan Demokrasi, serta berpikir kritis terhadap
permasalahannya.
3. melahirkan warga negara yang mampu berpartisipasi dala
upaya menghentikan budaya kekerasan, menyelesaikan konflik dalam masyarakat
secara damai berdasarkan nilai-nilai pancasila dan nilai-nilai universal, serta
menghormati supremasi hukum (rule of law/ rechstaat)
4. Melahirkan warga negara yang mampu memberikan kontribusi
terhadap persoalan bangsa dan kebijakan publik
5. Melahirkan warga negara yang memiliki pemahaman
internasioanl mengenai “ civil society”
Definisi :
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan mata
kuliah sebagai wahana mengembangkan dan melestarikan nilai luhur,moral dan
berbudi pekerti yang berakar pada budaya bangsa Indonesia
PENDIDIKAN PANCASILA
Pancasila sebagai Pendidikan Nilai Moral
1. Batasan – batasan nilai moral
Pendidikan nilai moral berkaitan erat dengan kebaikan, yang
ada dalam sesuatu objek – subjek. Boleh jadi sesuatu objek – subjek itu baik
tetapi tidak bernilai bagi seseorang dalam suatu konteks peristwa
tertentu.
Nilai – nilai universal berlaku bagi selurh umat manusia
bilamana dan dimanapun seperti hak asasi mansia, adapula nilai – nilai
particular hanya berlaku bagi sekelompok manusia tertentu, misalnya “nilai
sebuah tutur kata”.
Nilai – nilai abadi berlaku kapanpun dan dimanapun seperti
kebebasan beragama, yang berarti bahwa semua manusia bebas dari pasksaan baik
dari perseorangan maupun dari kelompok sosial atau sesuatu kekuatan manusiawi,
sehingga tak seorangpun boleh dipaksakan untuk bertindak bertentangan sengan
imannya.
2. Pandangan Masyrakat Tentang Nilai/Moral
Dalam suatu masyrakat yang majemuk dan berkembang terdapat
berbagai pandangan tentang nilai. Sehingga seringkali terjadi kerancuan dan
penyimpangan tentang pemaknaan nilai yang sesungguhnya (the alse sense of
normally). Sehingga kerap terjadi berbagai kelompok, golongan, dan bangsa
“menginjak – injak nilai” yang mestinya dihormati dengan dalih yang “indah-
indah”.
Sebaliknya, tidak jarang
pula orang menuntut hak dan kebebasan pribadinya yang terlampau tinggi.
Sehingga mengganggu hak asasi orang lain, kebebasan orang lain, sehingga
terjadi konfliks yang tidak jarang mendatangkan “mala petaka” seperti yang
sering terjadi diberbagai daerah di tanah air akhir-akhir ini.
3. Makna Pendidikan Moral
Makna “pendidikan moral” adalah bertujuan membantu peserta
didik untuk mengenali nilai – nilai dan menempatkannya secara integral dalam
kontekskeseluruhan hidupnya. Pendidikan semacam ini semakin penting dan
menempati posisi sentral karna tingkat kadar persatuan dan kesatuan terutama
yang berkaitan dengan kesadaran akan nilai – nilai dalam masyrakat akhir –
akhir ini cenderung semakin “pudar”.
Sesungguhnya pendidikan nilai itu adalah pemanusiaan
manusia. Manusia hanya “menjadi manusia” bila ia berbudi luhur., berkehendak
baik serta mampu mengaktualisasikan diri dan mengembangkan budi , dan
kehendaknya secara jujur baik dikeluarga, dimasyarakat – Negara, dan di
lingkungan dimana ia berada.
Ada gejala bahwa pendidikan dalam pengajaran ditekaknkan
segera untuk memperoleh keterampilan. Keterampilan memang bermanfaat untuk
jangka pendek, tetapi melupakan pembinaan sikap sebagai manifestasi pendidikan
moral yang justru diperlukan bagi pembinaan hidupnya. Akibatnya peserta didik
berlomba –lomba berlatih dalam bidang tertentu demi sukses pribadi tanpa memikirkan
efek samping dan akibat yang ditimbullkannya.
Ruang Lingkup Pendidikan Pancasila
1. landasan etimologis
Secara etimologis pancasila berasal dari bahasa sansakerta
yang ditulis dalam dewanagari. Makna dari pancaila ada dua, pertama panca
artinya lima dan syila (i pendek) artinya batu sendi jadi pancasila berarti
berbatu sendi yang lima. Kedua panca artinya lima syiila (huruf I panjang)
perbuatan yang senonoh atau normative. Pancasyiila berarti 5 perbuatan yang
senonoh atau normative perilaku yang sesuai dengan norma kesusilaan
2.Landasan historis
Secara historis, pancasila dikenal secara tertulis oleh
Bangsa Indonesia sejak abad ke-14. Pada zaman Majapahit, yang tertulis pada dua
buku, yaitu Sutasoma dan Negarakertagama.
- Buku Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular tercantum
dalam Pancasyilla Krama yang merupakan 5 pedoman, yaitu:
a) tidak melakukan kekerasan
b)tidak boleh mencuri
c)tidak boleh dengki
d)tidak boleh berbohong
e)tidak boleh mabuk (minum minuman keras)
- Buku Negarakertagama ditulis oleh Empu Prapanca tercantum
pada Sarga 53. Bait kedua sebagai berikut :
“Yatnang Gegwani Pancasyilla Kertasangkara Bhiseka Karma”
- Selama berabad-abad Bangsa Indonesia tidak mendengar lagi
kata Pancasila. Baru pada tanggal 1 Juni 1945, pada rapat BPUPKI I yang
berlangsung mulai 29 Mei-1 Juni 1945, kata Pancasila digemakan kembali oleh
Bung Karno untuk memenuhi permintaan ketua BPUPKI yaitu Dr. Rajiman
Widyodiningrat mengenai dasar negara Indonesia Merdeka. Pancasila disampaikan
Bung Karno sebagai berikut :
1) Kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
3) Mufakat atau demokrasi
4) Kesejahteraan sosial
5) Ketuhanan yang berkebudayaan
Pancasila menurut Bung karno dapat diperas menjadi trisila,
yaitu sila pertama dan kedua menjadi sosio nasionalisme. Sila ketiga dan
keempat menjadi sosio demokrasi dan ketuhanan. Trisila masih bisa diperas
menjadi ekasila, yaitu gotong royong.
- Pancasila rumusan Bung karno dikaji anggota panitia
lainnya dan dirumuskan kembali pada tanggal 22 Juni 1945 yang dikenal sebagai
piagam Jakarta oleh Muhamad Yamin disebut Jakarta Charter. Sila-sila Pancasila
dalam Piagam Jakarta :
1) Ketuhanan dengan kewajiban dengan menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2) Peri kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Piagam Jakarta ini dirumuskan oleh 9 orang.
Pada waktu diundangkan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945,
rumusan Pancasila berbeda dengan yang tercantum pada Piagam Jakarta. Rumusan
tersebut menjadi sebagai berikut :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawartan perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perubahan pemerintahan maupun bentuk negara, tetap
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Sifat konsistensi mempertahankan
Pancasila mencerminkan kesadaran dari Bangsa Indonesia akan pentingnya
Pancasila sebagai norma dasar bagi kokohnya NKRI.
3. Landasan Yuridis
Secara yuridis, butir-butir Pancasila tercantum pada :
1) Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang dijabarkan dalam
pasal-pasal UUD 1945.
2) TAP MPR RI No.XVIII/MPR/1998 : Pancasila sebagai dasar
negara harus konsisten dalam kehidupan bernegara.
3) TAP MPR RI No.IV/MPR/1999, Bangsa Indonesia tetap
berlandaskan Pancasila.
4. Landasan Kultural
Pancasila yang bersumber dari nilai agama dan nilai budaya
Bangsa Indonesia tercermin dari keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan Yang Maha
Esa dan kehidupan budaya berbagai suku Bangsa Indonesia yang saat ini masih
terpelihara, seperti : Setiap upacara selalu memohon perlindungan Tuhan Yang
Maha Esa, gotong royong, azas musyawarah mufakat.